Masyarakat zaman dahulu kurang memiliki
cara-cara dalam mempelajari peristiwa-peristiwa yg terjadi dilingkungannya. mereka
hanya mengandalkan mitos dan tahayul sebagai sumber pengetahuan yang pokok.
sebagai contoh, orang yunani zaman dahulu percaya bahwa badai samudera itu
akibat ulah Poseidon dewa laut dan petir itu anak panah yang dilepaskan Zeus
sebagai tindakan menghukum.
Mitos dan tahayul yang mula-mula dianut
orang lambat laun digantikan oleh sistem kepercayaan yang tersusun yang disebut
filsafat. Selama lebih dari 2000tahun, sejak kira-kira tahun 400
S.M sampai pertengahan abad ke-19, filsafat merupakan sumber utama pengetahuan
tentang hal belajar. Meskipun metode eksperimen telah diperkenalkan dalam ilmu
pengetahuan alam dalam abad ke-16, barulah 300 tahun kemudian metode itu
diterapkan utntuk mempelajari bekerjanya fikiran orang. Penerapan pertama kali
penelitian laboratorium untuk mempelajari bekerjanya fikiran orang merupakan
pertanda kelahiran suatu disiplin yang baru, yaitu Psikologi
Psikologi belajar merupakan salah satu
pendekatan sebagai dasar dari memahami perilaku. Asumsi yang mendasari ialah:
perilaku itu dipelajari, dipengaruhi lingkungan, merupakan cara adaptasi
individu dengan lingkungannya.
Permasalahan dan hal-hal yang berkaitan
dengan belajar telah lama dipelajari oleh bidang filsafat. Salah-satu pandangan
yang mula-mula mengenai kemampuan belajar disusun oleh filsuf Yunani, Plato
(sekitar 427-327 S.M). pandangan filsafatnya,yaitu idealisme, melukiskan
fikiran dan jiwa sebagai hal yg dasar sifatnya bagi segala sesuatu yang ada.
Kemampuan belajar manusia menurut Plato berasal dari ide-ide yang dimiliki
manusia yang dalam artian terbawa sejak lahir. Tetapi, pandangan yang
berlawanan dikembangkan oleh Aristoteles, murid plato. Aristoteles
percaya bahwa keadaan itu berasal dari dunia nyata, tidak dikonsepsi oleh
pikiran. Ide bukanlah ide yang terbawa sejak lahir tetapi merupakan
hubungan-hubungan hasil dari pengamatan alam. Karena itu, sumber
pengetahuan manusia adalah lingkungan alam dan belajar itu melalui kontak
dengan lingkungan. Menurut, Aristoteles peranan pikiran ialah
menggorganisasikan dan mengstruktur pengalaman-pengalaman indera dari dunia
luar.
Dua orang filsuf kemudian menyempurnakan
konsep-konsep yang telah diperkenalkan sebelumnya oleh Plato dan Aristoteles.
Rene descartes, seorang ahli Matematika dan filsuf abad ke-17, mengembangkan
lebih lanjut konsep pengetahuan bawaan. Descartes berpendapat bahwa orang
mengembangkan pengetahuan dengan proses penalaran deduktif dari ide dasar yg
sedikit. Model penguasaan pengetahuan yang disusunnya bersifat
matematik, yang merupakan sistem hasil deduksi dari aksioma-aksioma dasar yang
sedikit. Karena model descartes itu mengandalkan proses berfikir rasional
maka fahamnya dinamakan orang Rasionalisme. Bertentangan dengan
itu, ide aristoteles dijadikan dasar bagi filsafat yang lahir di Inggris, yang
disebut Empirisme. Mula-mula diperkenalkan oleh Thomas
Hobbes dalam abad ke-17, kemudian dikembangkan secara formal oleh
filsuf John Locke. Menurut John Locke, pada
waktu lahir pikiran orang itu merupakan tabula rasa atau kertas kosong.
Ide, yang dikatakannya merupakan balok penyusun pikiran
berkembang melalui duam macam pengalaman. Satu, ialah
kesadaran, sensation, yang diartikan sebagai hasil memperoleh pengetahuan
melalui indera. Pengalaman yang lain dinamakan Refleksi,
yang digambarkan sebagai proses menggabung-gabungkan ide-ide sederhana menjadi
kompleks.
Seorang fisuf Jerman, Immanuel
Kant, pada abad ke-18 berargumentasi bahwa baik rasionalisme
maupun empirisme harus bersinergi dalam membuktikan pengetahuan. Perdebatan
ini meletakkan landasan dan memengaruhi cara berpikir di bidang ilmu psikologi
maupun cabang ilmu lainnya. Saat ini ilmu pengetahun mendasarkan paham empiris
untuk pencarian data dan pengolahan dan analisis data menggunakan kerangka
pikir rasionalis.
Gagasan-gagasan
filsafat menjadi dasar dari penelitian-penelitian awal psikologi terhadap
“belajar sebagai pembentuk perilaku”. Terdapat dua aliran penting yang
berkembang; strukturalisme di Eropa (yang dikembangkan oleh Wilhem
Wundt yang biasa disebut sebagai bapak Psikologi eksperimen) dan fungsionalisme
di Amerika. Strukturalisme memelajari elemen fundamental dari
aspek-aspek mental (what the mind is) seperti perilaku berpikir,
kesadaran, emosi. Metode yang digunakan ialah introspeksi. Fungsionalisme lebih
berkonsentrasi pada what the mind does, apa yang menjadi fungsi dari
aktivitas-aktivitas mental. Pertanyaan yang ingin dijawab ialah bagaimana
perilaku seseorang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan mereka.
Perilaku belajar berawal dari proses sensasi dan
berlanjut pada proses persepsi. Ide-ide atau gagasan yang terbentuk bersumber
dari kesan-kesan sensoris yang saling diasosiasikan, yang diamati secara
bersama-sama dan berkali-kali membentuk sejumlah kesan sensoris. Hal ini
merupakan ciri dari mekanisme asosiasi.
Pandangan yang lebih jauh tidak lagi
menekankan pada mekanisme sensasi, namun lebih pada fungsi atau peran belajar
sebagai organisme biologis. Individu melakukan “aksi” ialah unsur pokok dalam
belajar. Aksi tidak dianggap menyusul suatu gagasan atau ide yang terbentuk,
tetapi sebagai ciri khas dari belajar. Dengan demikian belajar diartikan
sebagai proses pembentukan tingkah laku pada organisme secara terorganisasi.
Lewat penelitian-penelitian dengan seting
laboratorium lahirlah teori-teori belajar awal sebagaimana yang dikemukakan
Thorndike dengan teori koneksionisme, teori kondisioning klasik dari Pavlov dan
teori operan kondisioning oleh Skinner. Teori-teori di atas didasarkan atas
prinsip asosiasi sebagaimana yang telah dikembangkan sejak dari filsafat
melalui pengujian secara ilmiah.
Salah satu pendekatan teori yang berbeda
dapat ditemukan pada teori gestalt. Gestalt tidak didasarkan atas prinsip
asosiatif, tetapi oleh suatu prinsip insight. Insight merupakan
pemahaman yang didapatkan sebagai reorganisasi terhadap semua kesan indrawi
yang menghasilkan gagasan baru dan penyelesaian suatu masalah berdasarkan
pemikiran.
Teori-teori belajar yang berkembang
kemudian menunjukkan perkembangan pemahaman terhadap proses belajar. Belajar
dipandang sebagai proses pengolahan informasi secara internal dan lebih
bersifat mental. Masing-masing teori yang telah dikembangkan telah memberikan
kontribusi bagi pemahaman atas pembentukan perilaku. Aplikasi teori belajar
dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan seperti dalam dunia pemasaran,
organisasi dan dalam pendidikan dan sekolah.
Sebagai catatan, proses belajar tidaklah
selalu merupakan proses kognitif. Proses mental lain seperti emosi dan insting
juga memberi pengaruh dalam dalam perwujudan perilaku dikarenakan proses
belajar ini.
Sumber materi:
-
Buku Belajar dan membelajarkan/Margaret E.Bell
-
http://todayon2009.wordpress.com/2009/12/28/anteseden-psikologi-belajar/
-http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi_kognitif